Hubungan Gelap Indonesia – Zionis Israel
Artikel ini gue dapet dari majalah hidayatullah, semoga dengan artikel ini dapat membuka hati kita semua amiin.November 22, 2012
Gagalnya
usaha Theodore Herzl, bapak gerakan Zionisme, membujuk Khalifah Abdul
Hamid II agar menjual sebagian tanah di Palestina untuk dijadikan sebuah
negara Yahudi membuat kaum Yahudi berang.
Mereka sadar, kaum Yahudi tidak akan
pernah bisa mendirikan negara Yahudi selama Khilafah Islam masih
berdiri. Sejak itu, mereka bergerak membuat makar secara sistematis dan
jangka panjang untuk meruntuhkan Khilafah. Mulai dari memecah belah
persatuan Daulah Islam dengan menebar paham nasionalisme, hingga
memunculkan tokoh seperti Mustafa Kemal yang akhirnya menggulingkan
Khilafah dari dalam. Sejak itu, impian mereka mendirikan negara Yahudi
di Palestina terwujud, meski dilakukan dengan cara-cara ilegal,
pembantaian, dan pengusiran.
Sebagai negeri dengan penduduk Islam
terbesar di dunia, pengakuan Indonesia terhadap negara Israel sangat
penting bagi bangsa Zionis itu. Namun hal itu mustahil, karena Indonesia
menentang segala bentuk penjajahan. Termasuk penjajahan yang dilakukan
Israel terhadap Palestina.
Menjalin hubungan diplomatik akan sulit
dilakukan. Meski demikian, kerjasama rahasia kedua negera telah
berlangsung cukup intens. Agar tidak mendapatkan reaksi keras,
pendekatan non-politis menjadi pilihan. Yakni melalui kerjasama
perdagangan, intelijen, teknologi, dan kemanusiaan -seperti masalah
kesehatan. Akankah hal tersebut menjadi langkah gradual Israel untuk
mendapatkan pengakuan dari Indonesia? Atau mungkin lebih dari itu.
Berikut
temuan Suara Hidayatullah tentang aksi Zionisme di negeri ini. Meski
tidak membongkar keseluruhan aksi mereka, setidaknya bisa memunculkan
pertanyaan-pertanyaan yang bisa ditelusuri di masa datang.*
Penanggung jawab : Surya Fachrizal
Ginting | Koordinator : Abu Abdil Barr | Reporter : Ibnu Syafaat, Bilal
Muhammad, Ainuddin Chalik, Syaiful Anshor | Editor : Dadang Kusmayadi
Tergeleng-geleng di Jerusalem
Kerjasama sudah lama terjalin. Bahkan sudah saling mengunjungi.
Rabu, 2 Juni 2010. Dua hari pasca penyerangan pasukan Komando Angkatan Laut Zionis Israel kepada armada kebebasan, Freedom Flotilla, menuju Gaza, Palestina. Surya Fachrizal, wartawan Suara Hidayatullah yang juga salah satu korban serangan terbangun dari tidurnya di Rumah Sakit Rambam, Haifa, wilayah Palestina yang dijajah Zionis.
Kerjasama sudah lama terjalin. Bahkan sudah saling mengunjungi.
Rabu, 2 Juni 2010. Dua hari pasca penyerangan pasukan Komando Angkatan Laut Zionis Israel kepada armada kebebasan, Freedom Flotilla, menuju Gaza, Palestina. Surya Fachrizal, wartawan Suara Hidayatullah yang juga salah satu korban serangan terbangun dari tidurnya di Rumah Sakit Rambam, Haifa, wilayah Palestina yang dijajah Zionis.
Seorang lelaki bule gemuk berkaus polo
warna merah menyapa. “Hai, nama saya Steve,” ujarnya ramah. Steve datang
didampingi dua orang berseragam putih bergaris biru dari Magen David
Adom (Bintang David Merah, semacam palang merahnya Israel).
Sambil melihat-lihat keadaan Surya yang
masih terlilit selang-selang infus dan kabel pasca operasi, ia bertanya,
“Bagaimana keadaan Anda?” Surya menjawab singkat, “Baik.”
Kemudian Steve bercerita, beberapa hari
sebelumnya ia baru saja tiba dari Jakarta. Dirinya sengaja datang untuk
memastikan keadaan Surya. “Sepekan saya di Jakarta. Saya sudah kontak
dengan kementerian kesehatan Indonesia, dengan dr Rustam. Begitu keadaan
Anda baik, kami akan mengurus kepulangan Anda,” kata Steve.
Kunjungan Steve yang hanya sekitar
sepuluh menit itu menyisakan sejumlah pertanyaan di benak Surya.
Bagaimana bisa kementerian kesehatan Indonesia punya hubungan dengan
seseorang dari bangsa penjajah?
Sejak kapan hal ini terjadi?
Menurut
Kepala Kerjasama Kesehatan Bilateral Kementerian Kesehatan RI, Dicky
Budiman, dr Rustam yang dimaksud Steve adalah Rustam Syarifuddin Pakaya,
mantan kepala pusat penanggulangan krisis Kemenkes RI yang pernah
melakukan misi ke Jalur Gaza pasca gempuran Zionis Israel awal tahun
2009 lalu.
Namun, Dicky membantah anggapan adanya
hubungan atau kerjasama di bidang kesehatan antara Indonesia dengan
bangsa Zionis tersebut. “Tidak pernah ada,” kata Dicky kepada Suara
Hidayatullah.
Awal bulan November lalu Suara
Hidayatullah menemui dr Rustam yang dimaksud oleh Steve. Saat ini ia
menjabat Direktur SDM dan Pendidikan Rumah Sakit Kanker Dharmais
Jakarta. Rustam mengaku kenal dengan Steve. “Namanya Steve Stein. Dia
seorang professor,” kata Rustam menjelaskan.
Rustam mengatakan, dialah yang meminta
Steve untuk mencari dan memastikan kondisi ke 12 relawan Indonesia yang
diserang di Kapal Mavi Marmara itu Namun, Rustam mengaku tidak pernah
bertemu muka dengan Steve.
Kata Rustam, Steve jualah yang pertama
kali menelepon dia terkait adanya sejumlah WNI di Mavi Marmara. “Sejak
itu saya kontak dengan dia via telepon dan email,” ujar Rustam.
Saat itu, kata Rustam, dirinya juga
diingatkan oleh sejumlah pihak agar berhati-hati berhubungan dengan
Steve. “Awas, bisa jadi itu Mossad! (badan intelijen Israel, Red), kata
orang. Tapi, yang penting saat itu adalah mengetahui keadaan WNI yang
ditahan di sana,” jelas Rustam.
Senada dengan Dicky, Rustam juga
mengatakan tidak ada kerjasama antara Kemenkes RI dengan MDA atau
organisasi apa pun dari Israel. Sekretariat Jenderal Kemenkes RI melalui
Kepala Pusat Komunikasi Publiknya pun menegaskan hal itu.
“Sesuai dengan politik luar negeri negera
Republik Indonesia yang tidak menjalin hubungan diplomatik maupun
kerjasama bilateral dalam bentuk apa pun dengan pihak negera Israel,
maka kami tegaskan bahwa kementerian kesehatan RI tidak memiliki dan
tidak mungkin menjalin kerjasama dengan Israel,” papar Tritarayati,
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenkes RI.
Kepada Suara Hidayatullah, Tritarayati
menegaskan, siapa pun pejabat Kemenkes RI di Jakarta yang dikenal oleh
Steve Stein dari MDA Israel bukan merupakan keabsahan adanya pembicaraan
tentang kerjasama antara MDA Israel dengan Kemenkes RI.
“Secara institusi, kementerian kesehatan
RI menyatakan tidak pernah mengenal Steve Stein atau siapa pun pejabat
MDA Israel,” ujarnya menjelaskan.